Waktu saya sekolah dulu, saya termasuk orang yang suka membaca roman-roman jadul (selain buku stensilan tentunya). Bukan, itu bukan karena saya pengin niru-niru Rangga yang selalu kelihatan keren kalau lagi baca buku.

Itu karena sebagian besar roman tersebut sering muncul di kurikulum sekolah. Makanya, jangan heran anak-anak sekolah dulu cukup familiar dengan karya-karya sastra yang ditulis sastrawan semisal Merari Siregar, Marah Roesli, Nur Sutan Iskandar, Tulis Sutan Pati, Hamka, Sutan Takdir Alisjahbana.
Seiring dengan perkembangan zaman, beberapa dari karya sastra tersebut dibuat pula versi filmnya. Dan sebagai karya adaptasi, otomatis ada saja pembaca setia novelnya yang membandingkan karya asli dengan hasil adaptasi layar lebarnya. Tapi perlu diketahui bersama, buku dan film adalah medium yang berbeda. Jadi tentu mereka harus dinikmati dengan cara berbeda pula.
Berikut ini nih contoh 5 film Indonesia terbaik yang diadaptasi dari karya sastra. Saya rasa bisa jadi tolak ukur gimana jika karya tulisan dienkranasi ke media audio visual.
1. Atheis (1974)

Atheis adalah novel karya Achdiat K. Mihardja, sastrawan angkatan 45 asal Jawa Barat. Novel ini kemudian dibuat filmnya pada tahun 1974 oleh Sjuman Djaya.
Pada awal rilisnya, Atheis sempat memicu kontroversi lho. Badan Sensor Film (sekarang LSF) kala itu menyatakan bahwa konten dalam film ini nggak cocok untuk masyarakat Indonesia. Tapi Sjuman Djaya berdalih bahwa konten dari Atheis sudah ada sejak lama dalam novelnya, dan bahkan sering masuk di kurikulum sekolah.
Meski menuai kontroversi, film yang dibintangi Christine Hakim dan almarhum Deddy Sutomo ini berhasil meraih penghargaan Adaptasi Terbaik pada Festival Film Indonesia 1975.
2. Salah Asuhan (1972)

Salah satu karya sastra terkenal angkatan Balai Pustaka adalah Salah Asuhan yang diterbitkan pada tahun 1928. Salah Asuhan adalah karya sastra terkenal yang berasal dari zaman Balai Pustaka. Coba tanya ke kakek-nenek kamu deh, mungkin mereka pernah baca Salah Asuhan waktu masih puber dulu.
Novel legendaris karya Abdul Moeis ini akhirnya difilmkan oleh Asrul Sani pada tahun 1972. Tapi ia sedikit mengubah latar waktu dalam filmnya yang terjadi pada 1970-an. Beda banget sama setting novelnya.
Salah Asuhan bercerita tentang Hanafi (Dicky Zulkarnaen), pemuda yang gagal menempuh studi di Eropa. Kegagalannya itu membawa Hanafi pulang ke kampungnya di Sumatera Barat. Dari sini dimulailah pertentangan antara kebiasaannya di Eropa dengan adat setempat.
Hanafi yang menaruh hati pada wanita keturunan Prancis mendapat penentangan dari orangtuanya. Usut punya usut, Hanafi ternyata sudah dijodohkan dengan wanita lain yang bernama Rapiah. Sedang ayah dari wanita keturunan Prancis itu nggak mau anaknya kawin dengan orang Melayu.
Jika kamu kebetulan lagi menjalin hubungan sama orang keturunan Prancis, saya merekomendasikan Salah Asuhan buat kamu baca/tonton. Meskipun agak sulit membayangkan kamu bakal dijodohkan dengan seseorang bernama Rapiah, seenggaknya kamu bisa dapat pelajaran dari kisahnya Hanafi.
Salah Asuhan juga sempat dibuat sinetronnya pada 2017 oleh MNC Pictures sebanyak 25 episode.

3. Sang Penari (2011)
Judulnya memang Sang Penari. Tapi film ini merupakan adaptasi dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala karya Ahmad Tohari.
Sang Penari bercerita tentang pencarian Rasus (Oka Antara) atas cinta lamanya pada Srintil (Prisia Nasution) yang terhalang oleh adat Dukuh Paruh. Di sisi lain, kemampuan menari Srintil yang penuh magis membuat para tetua dukuh percaya bahwa Srintil adalah titisan ronggeng.

Sang Penari mendapat penghargaan Film Terbaik Festival Film Indonesia 2011 sekaligus menjadi perwakilan Indonesia di ajang Oscar 2012.

4. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2013)
Dari kelima film yang ada di daftar ini, barangkali Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang mendapat jumlah penonton paling banyak. Lebih dari satu juta penonton menyaksikan karya megah produksi Soraya Intercine Films ini. Bahkan kesuksesannya membuat Soraya menayangkan versi panjangnya dengan durasi 3,5 jam. Wow, itu lebih-lebih dari film India ya.
Film drama romantis karya Sunil Soraya ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan nama Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sendiri bercerita tentang percintaan antara Zainudin (Herjunot Ali) dan Hayati (Pevita Pearce) yang ditentang oleh adat lokal.

Zainuddin hanya seorang melarat yang tak bersuku. Ibunya berdarah Bugis, sedangkan ayahnya berdarah Minang. Oleh sebab itu, ia dianggap nggak memiliki pertalian darah lagi dengan keluarganya di Minangkabau. Beda halnya dengan Hayati yang berstatus perempuan Minang santun keturunan bangsawan.
Atas kerja kerasnya di film ini, Herjunot Ali dan Pevita Pearce diganjar Pemeran Utama Terpuji di Festival Film Bandung 2014.

5. Bumi Manusia (2019)
Sama dengan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Bumi Manusia karya Hanung Bramantyo ini juga yang mendapat jutaan penonton. Film ini diadaptasi dari karya besar Pramudya Ananta Toer berjudul sama. Berbeda dengan karya-karya Hamka, saya belum pernah menemukan novel Pramudya diajarkan di sekolah-sekolah dulu. Tapi, sekarang kita bisa membacanya secara bebas karena bukunya tersedia di pasaran.
Filmnya sendiri berkisah tentang sosok Minke (Iqbaal Ramadan) yang jatuh cinta pada Annelies (Mawar de Jongh). Kisah cinta mereka mendapat pertentangan adat saat itu karena Minke seorang pribumi sementara Annelies seorang keturunan campuran.
Kisah cinta di era kolonialisme Belanda ini berhasil membawa Bumi Manusia merajai nominasi Festival Film Indonesia 2019, meski nggak bawa pulang piala satu pun. Hm…

Minke dan Annelies adalah penampilan terbaik sepanjang karir Iqbaal dan Mawar/Falcon Pictures
Sebetulnya masih banyak karya sastra bagus yang belum dialihkan ke media audio visual. Jika produser berkenan, materi dari karya sastra Indonesia yang kental dengan kearifan lokal itu terhitung berlimpah ruah. Yaah, daripada sekadar memfilmkan novel cinta remaja klise ala wattpad ‘kan? Setuju?
Aku termasuk yg lebih suka membaca bukunya daripada film :D. Mungkin Krn banyak alur ceritanya yang diubah secara waktunya terbatas sih yaa. Ngerti siih. Tp ya agak kecewa Krn beda Ama buku :D.
Di antara semua sastra di atas, cuma atheis dan bumi manusia yg aku blm baca nih mas. Masih cari buku nya. Bahkan di ipusnas pun ga ada :(.
Dulu aku inget banget karya sastra yg dijadikan film serial, zaman aku SD, Siti Nurbaya trus azab dan sengsara. Aku suka Krn ga melenceng dari buku hahahaha. Mungkin Krn serial sih yaaa, jd waktunya juga ga limited :D. Kalo ga salah masih TVRI yg nayangin . Pengen deh ada drama yg diangkat dari buku sastra lagi 🙂
Kalau Atheis mungkin agak susah ya, tapi Bumi Manusia banyak kok di toko buku juga